keajaiban pada purnama

December 17, 2014 at 4:19 pm | Posted in katarsis | Leave a comment
Tags:

— bila keajaiban itu ada, saya melihatnya kemarin. di atas pesawat boeing menuju narita, saya melihat keluasan semesta, awan sebagai padang  yang panjang, begitu luas, begitu megah, seperti negeri Oz! empat bulan terakhir ini adalah mimpi yang panjang, dan mimpi tidak pernah tampak begitu taksa, begitu sumir. pergi ke amerika dan apalagi tinggal di sana sudah lama jadi mimpi dalam artian yang sesungguhnya—sesuatu yang tidak bisa diraih, hanya bisa dilamuni di siang bolong, dihidupkan di waktu lelap. dan kemarin ketika saya berada di shuttle bus di selatan amerika, melihat bukit dan senja yang memadukan gelap dan cahaya oranye matari, saya hanya bisa diam dan berkata—mimpi ini akan berakhir. saya akan pulang ke indonesia, pada kehidupan yang sudah puluhan tahun saya kenal.

langit

i still find this to be magical

tapi mimpi adalah mimpi—selalu ada tempat bagi kejanggalan.

pada mulanya segala sesuatunya berjalan seperti seharusnya—saya cek in, cek bagasi, cek sekuriti, duduk di boarding room and kemudian boarding. semuanya lancar sampai saya melihat pesawat itu: pesawat kecil dengan tiga deret bangku saja. dua di kanan, satu di kiri. pesawat ini tampak sangat asing. dan betul, setelah saya duduk keanehan mulai terjadi. pesawat tidak bisa berangkat karena ada persoalan maintenance. di dalam pesawat, kami menunggu selama satu jam. tak jelas masalahnya apa. proses pekerjaan berada di luar. sampai akhirnya petugas bengkel itu masuk pesawat—ternyata pintu lavatory tidak bisa dikunci, dan lampunya mati. pesawat tidak bisa terbang—karena secara hukum, lampu lavatory harus bekerja secara baik. tapi—ini tidak. entah gimana, pesawat dipaksa jalan. dengan syarat, mereka yang akan ke lavatory akan diberi senter.

penerbangan tak pernah sebegini janggal. dengan satu pramugari, yang tampak seperti nenek sihir, dan pilot yang tampak seperti anak punk, dengan gaya yang slengean dan sangat informal, saya betul-betul bertanya—apakah semua ini mimpi belaka? semua ini terlalu janggal! semua ini terlalu mengada-ada, terlalu ganjil! kenapa? bukan, bukan karena pramugari yang mirip nenek sihir, dan bukan pula karena saya harus bawa senter ke lavatory, dan KEMUDIAN saya tidak bisa menyalakan senter itu dan KEMUDIAN dalam gelap saya kehilangan nafas dan merasa terkunci dalam toilet terkecil yang pernah ada di dunia itu—pada 32,000 kaki!—dan KEMUDIAN saya gedor-gedor pintu itu dan tidak ada yang mendengar, dan merasa panik luar biasa—klaustrofobia menyergap!!

bukan, bukan karena itu—tapi karena saya harus berada di denver sebelum jam 12 untuk keberangkatan ke narita. jadi—karena persoalan lavatory itu, saya telat sejam. seharusnya saya tiba di denver pada pukul 11:15. singkatnya, saya divonis telat dan harus menginap di denver selama satu malam. karena penerbangan yang tersedia hanya keesokan harinya—pagi sekali jam enam. saya pikir, kenapa ini terjadi? saya tak siap kedinginan! saya cuma bawa satu kaos dan jaket! tapi pilotnya bilang akan mengambil jalan pintas dan ngebut agar bisa tiba di denver lebih cepat. dan, sungguh, saya merasa sedang naik metromini—tapi ini di pesawat, di amerika. jadi pesawat ini berjalan di ketinggian di atas biasanya, dan kemudian melewati rute yang lain, wilayah pegunungan yang terjal dan bersalju—saya kedinginan di dalam pesawat. kaki saya kedinginan, padahal pake sepatu. saya masih menolak kenyataan bahwa segalanya terasa surreal sampai akhirnya pramugari sendiri itu mengangkat telpon dan diperintahkan untuk melihat keluar jendela, beberapa kali, dengan angle yang berbeda. saya gugup sekali—sampai dia mengumumkan bahwa sebentar lagi kita sampai. kita memang mengambil jalan pintas—dan pilotnya tak sadar betul berdasar pandangan mata kita berada di mana. dan betul—kita sampai setengah jam lebih cepat. mereka bilang, ada harapan saya bisa mengejar pesawat ke narita, karena mereka juga tertahan.

airport

traveling these days

“you still have hope! run as fast as you can!”

saya tidak pernah ke denver. tapi saya kenal betul airportnya—karena semua pangkalan udara hanya terdiri dari perpaduan angka-angka dan huruf. airport itu sarang kode. di sana, saya hanya berlari dan berlari, sekencang mungkin, secepat mungkin—dari gate 61, 60, 59, 58…terus sampai gate 31. nafas saya tinggal beberapa tarik saya, terselip di antara nama allah dan doa-doa. dan, oh tuhan, saya belum pernah merasa segitu merana karena datang terlambat—boarding closed, katanya. gate itu sepi sekali. hanya ada petugas airline—dua ibu-ibu yang tampak senang dengan hidup mereka. tapi pesawatnya masih diparkir. jadi, masih ada harapan, sekecil apapun itu. di sana, saya memohon—please let me in. it wasn’t my fault—the flight was delayed for an hour! pada saat itu, saya merasa dikerjain nasib, setelah semua keanehan itu, apakah ini tidak lebih dari harapan palsu? saya teringat wajah istri saya, juga kedua anak saya, dan tuhan dan nasib dan betapa sebuah peristiwa terjadi begitu saja, tanpa alasan, tanpa tujuan—kenyataan yang dingin dan kasar!

saya masih melihat suatu kebarangkalian. but this happened:

pegawai A kepada saya: “i can’t promise you anything. i will try to call them.”

pegawai A kepada pegawai B di sebelahnya: “do you know their number?”

pegawai B kepada pegawai A: “i don’t know. try this one.”

bunyi telepon: tut-tut, tut-tut...

pegawai B: “halo?”

pegawai A: “hi, this is fulan binti fulan..eh…”

kebingungan terjadi. apa-apaan ini??? dua pegawai itu saling tatap:

pegawai B: “are we calling each other?”

pegawai A: “yes…hahahaha!”

saya, dalam hati: “what the hell is going on here!???”

si mbak itu lalu berlari ke pesawat yang masih terparkir—ternyata saya masih bisa masuk. tapi mereka bilang: we don’t know if your bag can make it. saya tidak peduli. saya hanya ingin pulang. dan akhirnya saya bisa masuk pesawat, merasa kuatir dengan segala keanehan yang akan terjadi kemudian—segalanya sudah terasa sureal. apalah alasannya nasib—saya duduk di kursi paling belakang. dari jendela tampak seorang pegawai bandara sedang menunggu dalam bosan. ternyata pesawat belum jalan juga. dua tiga orang mulai tidak sabar. saya sudah pasrah. ini kenyataan atau mimpi apalah bedanya. sama-sama absurd, sama-sama konyol. karena itu, senang bukan kepalang saya ketika saya sadar mereka menunggu bagasi saya. saya lihat—koper saya menyusul. dan pesawat pun bergerak. haha. lucu sekali, semesta! saya ingin tertawa—tapi tidak ingin dianggap gila. apa-apaan ini—apa yang terjadi dengan bermalam sendirian dan kedinginan di denver?

saya bukan seorang alim—tapi saya bukan orang yang bisa begitu saja mengabaikan tuhan. dan itu tidak membuat saya spesial. tidak—itu hanya menandakan bahwasanya saya ini manusia. saya manusia—dan saya berpikir alam beserta kehidupan yang ada di dalamnya adalah sebuah keajaiban. di pesawat itu segala yang semestinya tampak normal menjadi sangat janggal. berada di dalam pesawat itu bukan hal aneh. berpergian dari amerika ke jepang bukan hal yang aneh juga. dapet beasiswa ke luar negeri juga bukan hal yang aneh. sudah banyak novel dituliskan tentang itu oleh para inspirator.

saya? saya hanya anak kecil yang suka main layangan, yang pernah suatu kali dapet tiga atau empat nilai merah dalam rapor, rangking tiga dari belakang (59 dari 61 siswa), paling katrok pada pelajaran olahraga. singkat kata, saya ini nobita tanpa doraemon. yang aneh adalah—seumur hidup saya membayangkan ini, dan seumur hidup saya membayangkan apa yang saya bayangkan ini hanya akan menjadi bayangan saja. dan der!!—seketika perasaan asing itu datang lagi, tapi kali ini terasa lebih pekat—apakah kenyataan? dua orang jepang di sebelah saya lagi tidur. dan saya mencoba untuk menata kembali semua yang ada dan menjawab pertanyaan yang dipicu oleh kesadaran yang pekat akan keberadaan saya yang begitu asing di dunia yang spesifik ini: bersama awan, cahaya matari, peristiswa-peristiwa, ironi, rasa takut, harapan, the bitter old me, keluarga saya, anak dan istri. saya pejamkan kata, dan mencoba untuk berhenti berpikir—siapa yang tahu saya akan terbangun pada tahun 2006, ketika saya masih tinggal di kosan kecil di sudirman, sebagai pecundang yang senantiasa dikalahkan oleh kenyataan yang dingin, dikibuli terus menerus oleh mimpi dan harapan?

cdn.indiewire.com

woody’s new girls are all fake

magic in the moonlight adalah salah satu film ringan woody. segalanya familar. sama sekali tidak ada yang baru. topiknya basi. karakternya basi. semuanya basi! tapi yang nonton lagi keder sama hidup, dan sudah lama sekali tidak nonton film, dan bahkan menganggapnya sebagai tetek bengek kehidupan yang tidak terlalu penting, seperti membaca buku dan mendengarkan musik. film itu ada dalam daftar hiburan pesawat ANA. dan betapa saya terpesona oleh emma stone—dengan segala kebohongan yang dia lakukan, dengan kedangkalan karakternya, oh bahkan kedangkalan akting emma! film itu membuat saya sadar akan batas-batas kesenian dalam menalar kehidupan, seperti yang ditampakkan oleh woody, setelah puluhan tahun bikin film tentang kesia-siaan hidup dan freud. pada akhirnya semua pertanyaan penting tentang hidup itu, dengan segala misterinya, hanya akan berakhir menjadi film seni murahan yang akan dicaci-maki oleh kritikus. saya benci blue jasmine. dan mungkin agak sok paham midnight in paris—atau to rome with love. hingga kini masih terpesona annie hall atau the purple rose from cairo. tapi semua film itu saya tonton dalam suasana lain. dalam kasus magic in the moonlight, saya sadar untuk secara sadar memihak narasi murahan woody: hidup itu penuh keajaiban, dan bahwa pada akhirnya semua orang hanya ingin memercayai apa yang ingin mereka percaya, seperti keluarga kaya yang dikibuli sophie baker itu. dan ketika saya melihat ke belakang, dengan segala sinisisme saya pada kehidupan, dan kemudian menatap cakrawala di kejauhan sambil mengingat wajah anak-anak saya, saya tahu kalo saya bukan pengecualian. and then i fell asleep.

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.