Mutiara Nada: Islam dan Musik

April 13, 2009 at 4:23 am | Posted in agama, apresiasi, katarsis, kebudayaan | 16 Comments
Tags: , , , , ,

Islam itu agama peradaban. Demikian almarhum Nurcholis Madjid berkata tentang agama Muhammad, yang dipeluk lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Ini tentunya sebuah klaim yang masih bisa diperdebatkan secara teoretis. Toh, kita mengenal Taliban yang jelas anti-musik atau kelompok wahabi di Saudi Arabia yang bikin malu umat Islam karena percaya heliosentrisme itu bertentangan dengan al-Qur’an, sabda ilahi yang diturunkan dalam bahasa Arab. Apakah peradaban Islam itu tumbuh karena alasan teologis (al-Qur’an dan ajaran Nabi) atau antropologis (ekspansi wilayah politik besar-besaran yang akhirnya mempertemukan Islam dengan peradaban besar lainnya seperti Persia, Yunani, Bizantium dan India)? Saya cenderung jawaban terakhir. Tetapi entahlah. Yang jelas, Islam punya peradaban. Salah satu di antaranya adalah musik. Dan ini adalah warisan peradaban yang layak diingat untuk dilestarikan oleh umat Islam.

453px-lautenmacher-1568

Gitar itu islami!! Hehehe...

Durr Mufassal atau Barisan Mutiara

Musik dalam sejarah Islam itu terlanjur identik dengan musik Arab dengan trademark skala mayor harmonik ganda-nya. Itu lho. Nada eksotik yang mengingatkan kita pada Aladin dan Mulan Jameela. Skala itu disebut juga skala Gipsi atau skala Bizantium. Tidak salah memang. Hanya saja, menurut saya, stereotip ini membuat musik dalam sejarah Islam terasa partikular dan tidak “universal”. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Umat Islam memiliki peran yang tidak kecil dalam perkembangan musik dunia saat ini, termasuk musik klasik yang saya anggap sebagai puncak peradaban musik. Solfege atau bunyi titinada yang digunakan dalam tradisi vokal, misalnya, itu berasal dari peradaban berbahasa Arab, yang merupakan lingua franca umat Islam abad pertengahan. Bunyi do, re, mi, fa, sol, la, ti, do itu diduga berasal dari sistem solmisasi Arab Durr Mufassalt. Mereka yang rajin mengaji, pandai berkelahi dan tidak sombong pasti mengenal huruf dal, ra, mim, fa, sol, la, ta yang digunakan dalam frase Durr Mufassalt. Ada artinya kah? Ada. Sependek pengetahuan saya tentang bahasa Arab [mohon bantuannya bagi yang lebih paham], durr itu artinya “mutiara” dan mufassal itu artinya “terpisah” atau “terperinci”. Jadi, frase tersebut bisa diterjemahkan menjadi Mutiara Yang Terpisah atau Separated Pearls dalam bahasa Inggris.

Menurut Wikipedia, teori ini ditawarkan oleh Meninski dalam Thesaurus Linguarum Orientalum (1680) dan kemudian dikutip oleh Laborde dalam karyanya Essai sur la Musique Ancienne et Moderne (1780). Meninski sepertinya menambah huruf hijaiyah ta dalam kata Durr Mufassal(t) untuk memperkuat teorinya. Padahal, kata “terpisah” dalam bahasa Arab yah cukup mufassal saja. Kata yang digunakan dalam teks beliau adalah مفصَّلات. Ini mungkin bentuk jamak dari kata mufasolatun. Huruf ta marbutoh itu menandakan bahwa kata tersebut bersifat feminim. Tetapi, sekali lagi, saya bukan ahli bahasa Arab (ada yang bisa bantu?). Jadi, kita tinggalkan sajalah sejenak persoalan itu. Pertanyannya adalah: mengapa “Mutiara Yang Terpisah”? Berdasarkan spekulasi — yah ini cuma spekulasi — kata “mutiara” ini merujuk pada bentuk notasi atau tanda nada dalam garis birama. Anda tahu budaran hitam yang kadang berekor itu? Itu sebabnya saya menerjemahkan Durr Mufassal sebagai Barisan Mutiara. Kalau spekulasi ini benar, itu artinya bangsa Arab sudah lebih dulu menggunakan sistem notasi musik. Tapi yah, sekalipun itu benar, umat Islam tentunya tidak menemukannya sendiri. Musik — kata ini berasal dari bahasa Syiria — sudah lama ditemukan dan dipraktikkan oleh peradaban-peradaban besar sebelumnya. Jadi, kesimpulannya adalah, Islam bukan cuma memberi kontribusi dari sisi teknologis: seperti membantu membuat gitar, biola, piano, etc. — hampir semua string instruments pernah dikembangkan di Arab sebelum dibawa ke Eropa (lute itu oud atau العود) –, tetapi juga dari sisi teoretis atau saintifikasi musik.

Anda, tentu, boleh tidak percaya teori ini karena ada cacatnya dan bersifat spekulatif. Ini hanya hipotesa, bukan fakta. Lagipula, dunia sudah terlanjur memberi kredit pada Guido of Arezzo, seorang biarawan Katolik, as usual. Rahib Guido menemukan solfege pada sekitar tahun 1000 M. Bunyi do re mi, kata para ahli, berasal dari bait pertama hymne Ut queant laxis. Saya kopas saja di sini biar jelas:

ut queant laxis resonare fibris,

Mira gestorum famuli tuorum,

Solve polluti labii reatum,

Sancte Ioannes.

Hmm…teori ini pun tidak lebih meyakinkan karena himne ini hanya mengandung kata ut, re, mi, fa, sol dan la. Apalagi, kata ut kemudian diganti menjadi do biar enak dibunyikan. Ini saya akui mungkin primordialisme saya sahaja, tetapi kayaknya Durr Mufassal lebih ngepas didengar: do re mi fa sol la ti do! Ah, ya, masa lalu, siapakah yang tahu? Lagian, siapapun yang lebih dulu menemukan saya tidak peduli juga. Musik itu universal, bukan milik Gereja, bukan milik Islam. Orang-orang pagan penyembah patung sudah lebih dulu menikmati musik; Gereja dan saintis Muslim (seperti Ibnu Sina, al-Kindi dan al-Farabi) hanya memberi makna dan penjelasan ilmiah kepada musik. [Update: Saya baru menemukan informasi baru dari apolog Muslim di sini dan di sini. Menarik, terutama yang kedua, karena lebih ilmiah sedikit.]

Curhat Sedikit Boleh Yah

Sekali lagi, saya menulis ini bukan untuk mengatakan “Islam itu hebat loh!”, tetapi untuk mengingatkan siapapun yang mau diingatkan bahwa musik klasik [dan bahkan musik gereja!] itu bisa jadi pernah, atau setidaknya, bakal menjadi bagian dari peradaban Islam seandainya kekuatan politik Andalusia tidak dipukul mundur dari Eropa bagian selatan dan kekuatan politik Islam di belahan bumi lainnya tidak terlena dibuai harem-harem. Semuanya akan berbeda pula seandainya para ulama tidak menjadi sufi ala al-Ghazali dan puritan ala Ibn Taymiyah — ya, betul, saya masih beranggapan dua orang ini berjasa atas mandegnya peradaban Islam sebelum dan pada masa kolonial! Saya bersyukur Islam di Indonesia bukan Islam model Taliban. Tetapi saya berharap Islam tidak melulu diidentikan dengan musik nasyid (yang sebenernya terlalu mirip musik gospel Protestan) yang pernah dan masih dikembangkan aktifis PKS. Kepada petinggi parpol (terutama model PKS), saya akan mendukung partai Anda bila Anda berkenan membangun gedung konser (maksudnya beneran concert hall bukan Jakarta Convention Center!) atau opera house di Jakarta. PKS harus progresif melampaui retorika “menolak piagam Jakarta”. Apa visi dan misi Anda dalam bidang kebudayaan? Sekolah seperti Madina, al-Azhar dan beberapa “Tarakanita, UPH dan PL”-nya Muslim kelas menengah sudah memberikan pendidikan musik klasik, tetapi bagaimana dengan madrasah-madrasah di pinggiran Jakarta yang hanya mengenal nasyid, rebana, atau musik pop gonjrang-gonjreng model Peterpan, ST 12 dan Kangen Band? Tidak jelek memang musik yang saya sebutkan itu. Tetapi apakah musik hanya itu saja? Dan apakah musik klasik itu kebarat-baratan dan identik dengan Kekristenan? Lah, kalo melihat sejarah seperti yang saya urai di atas, bisa jadi zaman dulu orang Barat bermain musik klasik dan dicap ketimur-timuran karena musik itu identik dengan budaya Arab-Islam!!

Ayah saya bekerja sebagai tukang stem piano. Memang banyak langganan beliau beragama Kristen. Tidak jarang beliau keluar masuk gereja, bukan untuk ikut misa atau kebaktian tetapi untuk servis piano. Saya pun suka ikut beliau bekerja. Saya sering melihat salib dan patung Dewi Maria di atas piano — a wonderful sight. Ada juga sih Muslim yang jago main piano dan menjadi langganan ayah saya, tetapi jumlahnya tidak teralu banyak. Yah, begitulah, bahkan Cak Nur yang pro-peradaban saja terlambat menyukai musik klasik (apalagi FPI?). Saya ingat Gus Dur pernah meledek Cak Nur: “Cak Nur tampaknya mulai mendengarkan musik klasik setelah pulang dari Amerika, meski masih level album ‘the best of‘. Baguslah.” Hehehe…kira-kira begitulah kata Gus Dur. Cak Nur bersama Amien Rais dan Syafii Ma’arif sekolah di Chicago untuk belajar Islam, sejarah dan politik. Sayang tidak ada satupun yang menggilai musik klasik — sehingga tidak ada dorongan untuk pengembangan musik klasik dalam masyarakat Islam Indonesia.

Suatu hari saya ikut ayah saya ke rumah Cak Nur, sebelum cendekiawan Muslim itu wafat. Kasian, pianonya dianggurin. Saya dengar akhirnya piano itu dijual.*sigh*

So, apakah ada politisi atau pemimpin Muslim yang mau menghargai kebudayaan lebih dari sekedar mengadakan pembacaan puisi versi panggung 17-an dan konser Peterpan atau Dewa 19? Apakah mungkin suatu saat kita bisa memiliki gedung konser yang memenuhi standar The Berlin Philharmonic atau the New York Philharmoic di Jakarta? Agar kita tidak perlu jauh-jauh lagi ke Esplanade? Agar kita tidak tergoda untuk window shopping di Plaza Semanggi setelah menonton konser Twilite Orchestra di Balai Sarbini? Baiklah, mungkin ini terlalu muluk. Ini gagasannya bloger apatis dan elitis yang suka memanjakan diri sendiri! Masih banyak orang lapar di Indonesia, apa kita perlu gedung konser!? Saya tidak tahu. Saya kebetulan bosan saja melihat Muslim ngeributin pepesan basi: khilafah lah, negara Islam lah, syariat lah. Yang kita butuhkan itu ruang yang lebih kondusif untuk kebudayaan, kesenian atau peradaban. Pemimpin Muslim perlu lah sekali-sekali menyentuh persoalan kebudayaan ini. Kebudayaan itu lebih dari sekedar hiburan; kebudayaan Islam bukan sekedar mengganti dangdut dengan kasidahan. Pemerintahan bersih, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas itu penting, saya setuju 100 persen dengan apa yang dikampanyekan politisi, tetapi manusia mau lebih dari itu. Kita juga mau dimanja dalam berekspresi; kita mau ruang untuk memuaskan hasrat berkesenian.

NB: Semoga PD dan PKS, meskipun saya skeptik luar biasa, bisa membawa perubahan buat Indonesia. Tidak ada matematika atau penjelasan rasional dalam politik; semuanya adalah peristiwa yang terjadi begitu saja. Ada takdir di situ; ada roh sejarahnya Hegel; ada Tangan Tuhan. Ah, maafkan pandangan fatalistik saya.

16 Comments »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. pepesan basi

    :mrgreen:
    .
    (komentar lebih panjang menyusul)
    (yang jelas saya suka musik Arab 😉 )

  2. @lambrtz
    .
    Hayo, ditunggu.

  3. menarik 😉

    Boro2 mikirin budaya mas. Paling adanya juga ngurusin perda2 yang berkutat dengan urusan selakangan. hehe

    *skeptis*

  4. Mungkin tidak apa2 kalau yang di madrasah itu diajar musik nasyid dan klasik, dll tapi yang lebih penting mereka dapet teori musiknya jadi bisa mengembangkan musiknya jadi lebih bagus.

    Saya pengen nonton Gotterdammerung di Bayreuth. Eh, itu opera ya.

  5. kalo gak gamelan aja gimana? cuman emang gak banyak teorinya… soalnya buku babon musik Jawa konon dulu drampok Belanda. akhirnya dianggap bagian dari dunia mistis aja. setuju dengan Nenda, pengetahuan soal teori musik klasik itu penting. grup kayak Queen / Duran-duran bisa membikin musik berdasarkan konsep tertentu dan menjelaskan teorinya… (saya pernah punya vcd-nya). bandingkan ST12 umpamanya… walah… :mrgreen:
    .
    .
    *suka Enya gak?*

  6. @agiek
    .
    Saya juga skeptik. Ini juga katarsis aja.
    .
    @nenda
    .
    Iya saya juga gak keberatan. Saya juga suka nasyid kok.
    .
    @sitijenang
    .
    Masalahnya gamelan itu terlalu Jawa. Instrumen itu pun tak se-versatile gitar atau biola. Pun teorinya juga njlimet (karena saya memang tidak tahu). Saya bukan mengkampanyekan agar kita meninggalkan budaya tradisional, tetapi musik klasik itu bagian dari musik dunia sekarang, bukan musik Eropa aja. Komponis modern banyak kok yang bukan orang Eropa. Ananda Sukarlan, misalnya. 😀

  7. ^
    emang terlalu jawa ya. saya juga belajarnya dulu klasik dulu sih. anak saya nanti kalo udah agak gede mo dikursusin piano… he he he… sambil dikenalin gamelan juga. 😎

  8. gamelan rahsanya beda dengan musik klasik, ga bisa dijejer. Apa boleh buat pas saya mulai kenal musik klasik, kuping saya sudah mulai bisa mendengar dengan indriya rahsa. Jadi walau pun klasik indah secara teknik, tidak ada pengalaman spiritual yang memperkaya pengalaman hidup saya sebagai manusia.
    .
    Pas saya tanyakan ke guru saya, kenapa ga semua orang bisa menikmati musik gamelan? Katanya, karena diperlukan pikiran yang tenang (hening) untuk bisa mendengarkan. Yang saya maksud di sini tentu bukan gending model resepsi orang kawinan, tapi yang kuno-kuno macam Tejanata, Duradasih, Pangkur, Anglir Mendung.

  9. kalo musik dari tradisi (tarikat) Islam, saya seneng gaya Andalusia yang sekarang masih dipraktekkan di Maroko. Katanya sih masih warisan dari tarikat-tarikat pengikut Ibn al-Arabi. Ya ada mirip-mirip gaya ngegitar Paco de Lucia, mendayu-dayu 🙄

  10. Sepertinya saya pernah dapat info sebelumnya bahwa bunyi tangga nada itu emang awalnya dari huruf-huruf arab hijaiyah itu.
    .
    Sebelumnya, saya jadi ingat salah satu ucapan teman soal penerimaan musik di kalangan umat Islam ini. Bukan hal positif pada skala tertentu, sayangnya.
    .
    PKS ya? Saya mengakui kalo dari penampilan luar, bisa dibilang orang PKSwalaupun sering sulit untuk mau diajak ikut kegiatan partainya, tapi termasuk penyuka musik classic.
    .
    Saya punya 5 keping CD komplilasi music classic dari berbagai komposer dan 2 kaset. Satu Chopin dan satunya lagi juga kompilasi :P. Saya juga punya MP3 Kitaro.
    Dan dulu, waktu ada acara di kampus yang diselenggarakan oleh ADK untuk umum, kalo jadi salah satu panitianya, saya yang paling getol mutarin kitaro di saat jeda.
    .
    Saya juga percaya dengan keefektifan musik classic tertentu —–terutama Baroque, dalam bidang pendidikan. So, sometimes saya mutar Musik klasik di kelas. terutama saat sebelum pelajaran dan mengerjakan latihan.
    .
    Dan di saat tertentu saya lebih milih mutar Chopin dari pada murotal.
    .
    Sayangnya, saya termasuk yang dikenal akhwat rebel dikalangan tersebut. sampe-sampe salah satu teman ikhwah komentar “ini akhwat satu, beneran akhwat nggak sih?!” *sigh*
    Ok, don’t judge me by the appearance! 😛
    .
    BTW, diantara semua alat musik yang saya kenal, saya emang paling berharap BISA main dan PUNYA Piano!
    BAgi saya, orang-orang yang duduk di belakang piano itu terlihat anggun dan elegan.:P
    *kapan ya~*

  11. @sj
    .
    Good. 😀
    .
    @illuminationis
    .
    Indriya rahsa itu apa ya, Mbak?
    .
    @snowie
    .
    Iya udah banyak yang ngasih info itu; tapi tidak detil, nadanya masih terlalu ngklaim.
    .
    Wow Anda ternyata akhwat metal! :mrgreen:
    .
    Saya punya banyak temen akhwat metal. 😀

  12. pepesan basi: khilafah lah, negara Islam lah, syariat lah.

    Tul!
    .

    Masih banyak orang lapar di Indonesia, apa kita perlu gedung konser!?

    Perlu, karena walaupun orang-orang lapar itu tidak berkurang juga jumlahnya, kita tetap saja terus2an mengadakan konser, bahkan sampai yang tiketnya jutaan rupiah harganya.
    .

    Pemimpin Muslim perlu lah sekali-sekali menyentuh persoalan kebudayaan ini.

    Paling2 dilimpahkan ke Dep. Parsenibud, yang pasti akan menerjemahkan “kebudayaan” itu sebagai ‘gamelan, angklung, kendang dan tifa’. Piano? Budaya mana tuh? 😆
    .

    Kita juga mau dimanja dalam berekspresi; kita mau ruang untuk memuaskan hasrat berkesenian.

    BUBARKAN BADAN SENSOR FILM! 👿

  13. Btw, gen, fitur snapshots-nya dimatiin dong! Mengganggu sekali buat fakir benwit di kompie miskin RAM macam saya tuk ngintip link. 😐

  14. itu mainannya mbah sitijenang :mrgreen:

  15. Wow Anda ternyata akhwat metal! :mrgreen:

    No, mas gentole. I just wanna be good girl. Actually, I’m trying on it.
    .
    BTW, jelas aja saya milih dengerin musik klasik saat baca, kalo denger murotal, ya nggak jadi baca 😛

  16. kalo anda bilang khilafah,syariat itu adalah pepesan basi,berarti anda itu orang Islam yang pikirannya telah diracuni.Khilafah lah yang telah menjadikan Islam sebagai peradaban nomor wahid.


Leave a comment

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.