Menalar Perempuan

August 2, 2009 at 3:35 am | Posted in filsafat | 11 Comments
Tags: , , ,

Peringatan: panjang, filsafat amatir, bau curhat, ngawur dan tidak penting.

Romo Magnis pernah menulis sebuah buku berjudul Menalar Tuhan. Saya tidak pernah membaca buku itu, hanya melihat judulnya saja di Gramedia; bukannya meremehkan kualitas tulisan dan pemikiran Romo, kebetulan saja saya ini kepalang bosan membaca buku soal Tuhan. Meski begitu, saya suka judulnya. Karena menggelitik. Menalar Tuhan. Ah, kesannya intelek.

Kata ‘nalar’ sendiri saya tidak tahu asalnya dari mana. 😀 Yang jelas, penerjemah lokal biasa mengganti kata reason dengan kata ‘nalar’. Dan sepertinya kita semua sepakat: reason adalah upaya mencerap realitas melalui suatu proses, atau kategori-kategori, yang bersifat empiris dan logis. Ya, tidak harus selalu empiris memang, tetapi setidaknya bersifat logis. Seperti dalam kasus Tuhan, apanya yang mau dinalar? Seberapa empiriskah Tuhan sehingga mungkin akal-budi Pencerahan menalarnya? Yang mau tahu jawaban pertanyaan itu monggo beli bukunya Romo Magnis. Karena dalam tulisan ini, yang akan dibahas bukan Tuhan, tapi perempuan. Dus, judul post ini: Menalar Perempuan.

megan-fox-is-wonder-woman--00-800-75

Katanya rumor, bukan laporan intelijen atau BIN, Mbak Megan ini laki-laki!

Apanya Yang Perempuan Dari Perempuan?

Vagina? Payudara? Well, iya, di kelas biologi boleh jadi jawaban itu valid dan menutup peluang perdebatan. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, jawaban itu boleh jadi ngawur, vulgar dan tidak bijaksana. Karena waktu saya kecil (tahun 1980an), jawabannya adalah: rok, rambut panjang a la gadis Sunsilk, pita merah jambu dan sepeda mini. Waktu itu hampir tidak ada perempuan yang pakai celana, berambut bondol a la Demi Moore, dan naik sepeda BMX. Karena yang demikian itu atribut lelaki. Dan, lagipula, karena belum ada Web 2.0., saya punya gambaran yang begitu samar akan bentuk vagina, sehingga itu tidak menjadi penanda inti dari apa yang disebut ‘perempuan’. Satu-satunya referensi akan instrumen reproduksi itu adalah kembang berwarna ungu yang disebut kembang @#$%^&-@#$%^&an. Dulu secara biologis, dan juga semiotik, perempuan dan lelaki dibedakan dari cara mereka pipis: jongkok dan berdiri. Alasannya di sini tentu lebih bersifat teknis ketimbang kultural. 😀 Tetapi, pembedaan ini tidak selalu bisa diandalkan, karena kata Melisa: Eh, jangan pipis sembarangan! 😀 Jadi,untuk waktu yang lama, rok, rambut panjang dan pita merah jambu menjadi imaji mental dalam benak setiap kali saya berfikir tentang makhluk yang disebut perempuan.

Tentu sekarang saya tahu betul bentuk payudara dan vagina. :mrgreen: Meski demikian, dalam kehidupan sehari-hari, saya tidak serta-merta membedakan lelaki dan perempuan hanya dari alat reproduksi yang mereka punya. Karena hidup, kawanku, tidak melulu soal melipat-gandakan keturunan. 😀 Seperti yang sudah dikatakan banyak aktivis dan pemikir soal keperempuanan, secara biologis, beda pria dan wanita itu sejatinya bersifat terberi (given), suatu takdir yang tiada bisa digugat. Tetapi dalam konteks kemasyarakatan, seperti rok dan celana, beda kedua jender itu bersifat rekayasa (constructed), sesuatu yang dibuat-buat, sesuatu yang tidak punya dasar sama sekali, sesuatu yang sebenarnya bisa digugat, diabaikan dan bahkan dibongkar. Karena itu, ketika kaum Hawa sadar bahwa tidak ada alasan untuk selalu pakai rok dan pita merah jambu, sebuah guncangan budaya terjadi. Rok dan pita merah jambu menjadi penanda usang yang kehilangan petandanya, sebuah simbol yang kehilangan obyek rujukan. Seperti gambar TV yang goyang dan buram; kita tidak lagi bisa melihat secara jelas. Mana  pakaian lelaki, mana pakaian perempuan? Celana jeans dan kaos oblong menjadi universal, sementara LGBT sudah tidak lagi ngumpet. Meski begitu, seperti halnya kita membiarkan TV buram itu menyala, kita juga membiarkan saja dunia yang sudah didekonstruksi oleh para feminis itu berjalan. Karena bagaimana pun, penanda perempuan yang usang seperti rok dan rambut panjang masih bertahan hingga saat ini. Dan pada saat yang sama, penanda-penanda jender baru pun bermunculan, seperti misalnya pada sampul licin majalah gaya hidup yang dijajakan di jalan yang kumuh.

Jadi, apa yang menjadikan perempuan itu perempuan? Apakah, sekali lagi, payudara dan vagina? Apakah sederet ‘attitudes’ perempuan yang dijabarkan dalam majalah gaya hidup, yang tampak begitu berjarak dari kehidupan sehari-hari yang kita kenal, yang membuat seolah-olah bumi ini hanya dihuni orang-orang berpendidikan, berkecukupan, tampan, cantik, langsing, seksi, glamor, gaul, hedonis, dan seterusnya? Saya tidak ingin mempersulit apa yang sebenarnya mudah. Tetapi sebenarnya saat ini kita dihadapkan pada suatu persoalan linguistik-ontologis yang cukup serius soal jender; apabila peran serta alat reproduksi tidak serta-merta menjadikan perempuan itu ‘perempuan’, dan apabila pakaian dan tingkah-laku tidak bisa dijadikan semacam tolak-ukur seseorang itu bisa disebut ‘perempuan’, bukankah itu artinya kata tersebut sebenarnya tidak mempunyai arti, dalam artian kata ‘perempuan’ merupakan sebuah gagasan yang tidak bisa dinalar seperti halnya Tuhan, karena, pertama, tidak empiris, kedua, tidak konsisten dan, karenanya, tidak logis. Apa saja yang saat ini disebut feminin bisa disebut maskulin pada waktu dan tempat lain; dan tidak semua orang yang memiliki vagina dan payudara bisa disebut ‘perempuan’ – ingat para lelaki yang terjebak dalam tubuh perempuan? Jadi, solusinya apa? Dan, bah, apa pula maksud pertanyaan ini?

Mengapa Lelaki Tidak Perlu Didefinisikan

Kaum feminis yang sinis dan biasanya tidak terlalu cantik pasti bertanya; mengapa menalar perempuan, bukannya lelaki, ha!? Mengapa kita harus mendefinisikan perempuan, bukannya lelaki, ha!? Ini bias jender! Ini budaya patriarki! Ini diskriminasi! Well,  menurut saya, bisa jadi kita semua lelaki (but this doesn’t mean we’re all gays fellas. :mrgreen: ). Dalam bahasa Inggris, manusia secara umum itu disebut men bukan women. Dalam bahasa Arab juga, kata ganti lelaki digunakan untuk merujuk orang beriman secara umum, laki-laki maupun perempuan; ‘kutiba alaikum’ bukan ‘kutiba alaikunna’. Jadi, begini, menurut penalaran saya, sebenarnya konsep ‘perempuan’ itu ada karena watak manusia yang tiada bisa berfikir tanpa bahasa; sementara proses linguistik-koginitif manusia – yang bersifat eksistensial – itu berasal dari hasrat kita untuk membedakan satu dari lainnya. Seperti yang sudah saya argumentasikan sebelumnya, hanya dengan mengatakan bumi bukan langit kita bisa mengatakan bahwa langit itu langit, dan hanya dengan memahami gelap kita bisa mengerti terang. Karena itu, manusia harus menciptakan ‘perempuan’ agar mereka bisa menjadi lelaki, atau manusia-utuh. Apabila tidak ada ‘perempuan’, dengan segala atribusinya, tidak akan ada lelaki, atau, sekali lagi, manusia-utuh. Manusia, atau man, membutuhkan semacam pembeda, ‘Yang Lain’ yakni ‘perempuan’, untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Karena itulah Hawa diciptakan, agar Adam, yang boleh jadi seorang manusia purba yang revolusioner, berhak menobatkan dirinya sebagai ‘manusia pertama’.

Apakah ini artinya perempuan itu manusia yang tidak sempurna? Apakah, berdasarkan uraian saya di atas, perempuan bisa dianggap manusia kelas dua?

isis

Ini dewa ini, bukan bidadari surga.

Perempuan Itu Seperti Tuhan

Well, begini. Karena saya bilang kita semua ‘lelaki’, tidak semua orang yang secara fisik disebut perempuan itu ‘perempuan’. Dalam kapasitasnya sebagai presiden Filipina yang berkali-kali menggagalkan kudeta terhadapnya, secara filosofis almarhumah Cory Aquino adalah ‘lelaki’, manusia utuh yang sejatinya ‘bukan’ pria maupun wanita. Kebebasannya dan keberaniannya melawan arus takdir menjadikannya manusia kelas satu. Apabila perempuan zaman dulu diperlakukan sebagai warga kelas dua, bukan manusia-utuh, hal itu disebabkan oleh jiwa zaman yang belum tersadarkan, bahwa perempuan yang inferior dan kerjanya cuma di dapur dan kasur itu mungkin tidak ada, seperti halnya filsuf Pencerahan tersadarkan bahwa Tuhan mungkin tidak ada; bahwa kedua gagasan itu diciptakan hanya untuk memuaskan hasrat manusia akan sesuatu yang bukan dirinya, agar ia bisa menjadi dirinya. Dalam hal ini, perempuan itu seperti Tuhan, sebuah konsep yang bersifat imperatif secara linguistik namun tidak ada rujukannya pada kenyataan indrawi, dan mungkin pada dasarnya dilahirkan dari rasa-takut, rasa-sakit, kehampaaan, kesunyian, ketidakberdayaaan, ketidaktahuan, kerancuan, kegalauan. Gagasan itu sengaja dibuat agar manusia tidak terombang-ambing dalam sejarah panjang peradaban yang bersifat ‘homoseksual’. Manusia membutuhkan ‘perempuan’ seperti ia membutuhkan Tuhan – bukankah kita selalu ingin segala sesuatu itu digenapi? Dalam konteks ini, hubugan sesama jenis menjadi bisa dimengerti, karena ‘perempuan’ tidak harus seorang perempuan. Mokso yak? Biarin.  😀

Curhat Dikit

Kebetulan, fyi, saya ini lurus dalam artian straight. Dan hubungan saya dengan seseorang yang saya yakini sebagai ‘perempuan’ saya pun bersifat platonik, meski tidak akan saya pungkiri daya-tarik seksual itu ada, tetapi ini kan sifatnya alamiah dan dimiliki juga oleh kerbau, kucing dan kelelawar. Saya mau hidup sama dia bukan karena kami berdua memiliki banyak ‘kesamaan’, tetapi karena kami memiliki banyak ‘perbedaan’. Secara eksistensial, kehadiran dirinya membantu saya memahami diri saya sendiri, untuk bercermin pada perbedaan yang mencuat dari komitmen yang kami bangun. Oh iya, tentu saja dia ini seperti lazimnya perempuan: irasional, suka ngambek dan marah-marah gak jelas, sudah barang tentu susah ditebak, apalagi dinalar. 😀

11 Comments »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. Menunggu pencerahan lebih lanjut 😀

  2. Memangnya perempuan perlu dinalar yah? Jangan-jangan konsep Menalar Perempuan itu juga sebenarnya justru bagian dari konsep Patriakhi. Hi hi hi .

    Jadi ingat lagu God is a girl.

    Remembering me, discover and see,
    All over the world, she’s known as a girl,
    To those who are free, their minds shall be keep,
    Forgotten as the past, ’cause history will last.

    God is a girl, wherever you are,
    Do you believe it, can you receive it,
    God is a girl, whatever you say,
    Do you believe it, can you receive it,
    God is a girl, however you live,
    Do you believe it, can you receive it,
    God is a girl, she’s only a girl,
    Do you believe it, can you receive it?

    She wants to shine, forever in time,
    She is so driven, she’s always mine,
    Clearly and free, she wants you to be,
    A part of the future, a girl like me,
    There is a sky, eluminating us,
    Someone is out there, that we truly trust,
    There is a rainbow, for you and me,
    A beautiful sunrise, eternally.

    God is a girl, wherever you are,
    Do you believe it, can you receive it,
    God is a girl, whatever you say,
    Do you believe it, can you receive it,
    God is a girl, however you live,
    Do you believe it, can you receive it,
    God is a girl, she’s only a girl,
    Do you believe it, can you receive it?

  3. Ah, soal persepsi bias gender ini, laki-laki juga mesti ikut pasang kuda-kuda. Kadang bingung juga kalau ada laki-laki mengucurkan air mata, lalu ada cewek yang nyeletuk, “Loh? Cowok kok naaangiiis?”

    😆

  4. Lha kalo anggap saja cowok nolak cewek juga nolak kok bisa-bisanya bias gender tetap terjadi. Dunia ini bukannya isinya kalo nggak cowok ya cewek. He he he.

    Kayak UU Perburuhan saja : Katanya pengusaha benci, buruh juga benci – tapi ajaibnya UU itu ada. Hik hik hik.

  5. @frozen

    Kadang bingung juga kalau ada laki-laki mengucurkan air mata, lalu ada cewek yang nyeletuk, “Loh? Cowok kok naaangiiis?”

    Itu kan seperti yang gentole bilang, konstruksi sosial.
    Termasuk laki2 harus bisa ngganti ban mobil, bisa ngangkat barang belanjaan cewek, dan bisa memahami tingkah cewek yang nggak rasional.

    *jadi semacam curcol gini?*

  6. » dnial

    […] dan bisa memahami tingkah cewek yang nggak rasional.

    Eh, eh, eh,
    Saya jadi ingat, dengan satu forward-an e-mail dari seorang teman yang sedikit nyinggung soal ini, kali aja situ belum pernah dengar. Ini dia: :mrgreen:
    .
    .
    .

    PEREMPUAN MEMANG SUSAH DIPAHAMI!
    .
    Jika dikatakan cantik, dikira menggoda,
    jika dibilang jelek, disangka menghina,
    apabila dibilang lemah, dia protes,
    bila dibilang perkasa, dia nangis.
    .
    Maunya emansipasi, tapi disuruh benerin genteng, nolak
    (sambil ngomel, “masa’ aku disamain sama cowok?!”)
    .
    Maunya emansipasi, tapi disuruh berdiri di bis malah cemberut
    (sambil ngomel : “egois amat sih cowok2 ini, pada nggak punya perasaan apa)
    .
    Jika ditanyakan, siapa yang paling dibanggakan, kebanyakan bilang Ibunya, tapi kenapa ya… kebanyakan perempuan lebih bangga jadi wanita karir, padahal ibunya ‘kan ibu rumah tangga?
    .
    Bila kesalahannya diingatkan, mukanya merah,
    bila diajari, mukanya merah,
    bila disanjung, mukanya merah
    jika marah mukanya juga merah, kok sama semua??? Bingung!!
    .
    Ditanya ya atau tidak, jawabnya diam;
    ditanya tidak atau ya, jawabnya diam;
    ditanya ya atau ya, jawabnya diam,
    ditanya tidak atau tidak, jawabnya diam,
    ketika didiamkan malah marah (repot kita emang disuruh jadi dukun yang nggak bisa nebak jawabannya).
    .
    Lagi, kalau perempuan dibilang ceriwis, malah marah,
    dibilang berisik, ngambek,
    dibilang banyak mulut, tersinggung,
    tapi kalau dibilang s u p e l
    wadooow! seneng banget… padahal sama saja maksudnya.
    .
    Dibilang gemuk, nggak senang
    padahal maksud kita sehat gitu, lho
    dibilang kurus malah senang
    padahal maksud kita “kenapa elo jadi begini??!!!”
    .
    Itulah PEREMPUAN
    makin kita bingung makin senang DIA !
    .
    *facepalm*

    .
    :LOL:
    .
    Closing: “PEREMPUAN ADALAH HAL YANG TAK PERNAH SELESAI!™”
    .
    *menghilang*

  7. @atas semuanya
    .
    Wah berarti tulisan saya ngawur nih. Pada kagak nyambung soale. 😀

  8. Berarti benarkah perbedaannya hanya tertera pada bentuk tubuh saja, lalu demi menciptakan manusia utuh maka bahasa pembeda “perempuan” diciptakan? tapi memangnya kenapa mesti perempuan yang menggenapi? apakah rasa takut, dan rasa terpenuhi itu tidak bisa di genapi dengan homoseksual?
    *garuk2 kepala*

  9. ^
    .
    kenapa perempuan? dunno? saya tidak tahu. 😀

  10. kenapa perempuan selalu fenomenal?
    ga habis2nya dibahas di mana2….

  11. Bagaimana dengan bumi,yang selalu identik dengan istìlah ibu. ‘ibuper-tiwi.
    eh tau gak,ikan tuh bisa menentukan jenis kelaminnya sendiri.


Leave a comment

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.