Kamerad: Daring dan Luring

July 16, 2011 at 12:01 pm | Posted in iseng, katarsis, refleksi | 13 Comments
Tags: , , , ,

Jemaat Blogosfer Yang Saya Muliakan,

Kita disatukan di sini, di blogosfer ini, oleh Internet. Kita akses blog, kemudian Facebook (sebagian mungkin merasa butuh akun Twitter yang norak itu) lalu Google +, untuk mendedah dunia lain, dunia dalam jaringan; dunia online, dunia daring. Ini mungkin soal remeh, kawan, satu dari sekian banyak printilan dalam hidup kita yang tak usah ditanggapi begitu serius, tapi buat saya — yang lama sudah tak punya sahabat atau geng di luar jaringan (disingkat luring) karena alasan kepraktisan, emosional dan eksistensiil — penting rasanya merefleksikan koneksi yang terjalin antara saya dan para-avatar yang berbicara kepada saya melalui teks dalam jejaring sosial. Karena, hidup itu singkat. Ya, segala keputusan yang saya ambil dalam hidup didasari oleh persepsi itu: bahwa hidup itu, ya, singkat. Dan karena itu pula saya belakangan ini bertanya kepada diri sendiri bila pertemanan daring bakal lebih awet dari persahabatan luring yang semakin hari semakin nostaljik. Ah, masa lalu!

Sahabat Luring

Kawan luring pertama saya namanya Wahyudi. Saya panggil dia Yudi. Ingatan saya terbatas sekali tentang dia, kecuali bahwa dia pernah — dalam perjalanan pulang bersama kawan dari menjenguk guru SD kami yang baik hati, Ibu Sri — buang hajat di semak-semak, lalu menjelaskan kepada saya dengan sangat meyakinkan dan percaya diri bahwa daun liar di sekeliling bisa digunakan untuk membersihkan yang wajib dibersihkan setelah menunaikan hajat. Waktu itu saya anggap dia berani, bukan sinting. Dia bisa jadi orang asing pertama yang menjadi ‘kenalan’ dalam hidup saya. Karena, selain dia, ayah dan ibu, kakak dan sepupu, juga tetangga, mereka semua sudah ada sejak dulu. Saya tak pernah berkenalan dengan mereka. Sejak sadar diri, sudah ada mereka. Saya lupa apa saja yang kami, saya dan Wahyudi, bicarakan waktu itu. Tetapi saya tahu bahwa dia seorang sahabat. Kala itu saya kelas satu SD dan masih tinggal di Jakarta Barat. Kemudian, pada suatu siang di tahun 1989, saya pindah ke Tangerang. Tak ada teman sekolah yang tahu saya pindah. Dadakan. Kehidupan sekejap berubah. Saya ketemu kawan baru lagi, namanya: Yudi juga. 🙂

Yudi pandai bercerita. Dia juga dari Jakarta Barat, daerah Rawabuaya. Kita sekelas di sekolah SD yang terletak di kampung Sabi. Yudi jago berenang. Katanya, itu karena dia pernah makan udang hidup di kali waktu ngobak di kali di kampungnya dulu. Saya percaya sama dia. Tapi saya tidak mau makan udang hidup. Dan, benar juga, sampai setahun lalu saya tidak bisa berenang. Semestinya saya ikuti nasihat sahabat saya itu. Yudi adalah seorang petualang. Dia lebih imajinatif dari saya, meskipun saya lebih banyak bengong daripada dia. Oh, ya, Yudi suka cerita dan pandai bercerita. Dia punya koleksi kaset cerita yang sering dia putar di radio di rumahnya. Kita bisa dengar dari luar. Petualangan Guliver di Negeri Liliput adalah cerita kesukaan dia. Yang kedua kisah sedih Unyil dan kejamnya Ibu Tiri. Tapi saya benci kalau dia setel cerita horor, cerita pocong! Saya langsung tutup kuping. Lari tunggang langgang. Pada akhir 1990-an, keluarga Yudi terkena masalah hukum. Tak jelas apa. Rumahnya dijual. Dia sempat sekali dua kali mampir tapi sudah takada kimianya lagi di antara kita berdua: dia kini jadi seorang kenalan saja, padahal saya tak pernah lupa hari-hari kita berdua dulu, waktu kita menghitung langkah kita ke sekolah sambil adu cepat dengan begitu riangnya, ritual yang bikin saya lupa betapa membosankannya sekolah dulu.

Lalu Yudi berganti Waluyo Jati. Saya ibaratnya dulu jadi wing-man-nya dia. Ada satu anak perempuan dia suka. Tak berani bilang. Tak berani dekat. Awalnya saya diajak curhat saja, lalu diminta temani ke rumahnya. Entah apa yang terjadi pada anak gadis yang disukainya itu. Yang saya ingat kepalanya jenong, selebihnya kabur. Perempuan dulu agak datar. Kita cuma lihat wajah saja. Kurva-kurva lainnya belum jadi soal, kecuali bagi beberapa kawan yang telat sekolah. Jati percaya drakula ada. Dan katanya drakula takut salib. Saya bilang itu cuma di film. Kata dia, “gak kok, di buku juga ada!”. Tak lama saya bersahabat dengan si Jati ini. Setelah SMP, dia pindah ke Magelang. Sempat berkorespondensi beberapa kali, bercerita tentang kehidupannya di Jawa. Dia tak terdengar bahagia. Tapi, entahlah, saya tak tahu kabarnya kini. Kali dia sudah jadi tentara, berkawin dan punya anak tiga, lelaki semuanya. Jati, dia berfikir dirinya seekor ikan hiu. 🙂

Sahabat kanak-kanak saya yang terakhir adalah Andra. Dia juga sinting, lebih sinting malah dari kawan-kawan saya sebelumnya. Kalo Yudi yang pertama buang hajat di semak-semak, yang kedua makan udang hidup, dan Jati berfikir dirinya adalah ikan hiu, Andra mencuri absensi sekolah dan membuat satu kelas dijemur seharian, pakai tindik di kuping, alis, hidung, bibir, dan entah di mana lagi, berantem sama guru matematika (padahal dia jago matematika!), ngerokok cigarilos di angkot penuh sama ibu-ibu dengan wajah penuh tindik berbentuk spiral, dan waktu STM dulu setiap hari bolos sehingga butuh mungkin 16 tahun untuk kelar sekolah dasar. Tapi dia punya prinsip. Hingga kini saya masih berkawan. Tapi jalan hidup sudah lain, Dia kawin sudah. Punya anak. Tapi ada jurang yang tak lagi membuat kita bisa menginap semalaman bicara soal hidup: kali saya yang berubah? Yang jelas persahabatan itu akhirnya melewati batas kadaluwarsa dan kami pun saling mengasingkan.

Setelah Andra, ada kawan kuliah. Di kuliah saya soliter, mirip Gie atau Wahib. *maksa* Ada beberapa sahabat. Tapi cepat kandas, karena pada fase ini saya mulai mengisolasi diri saya. Pendek kata, saya belajar jadi individu, belajar jadi egois. Setelah ini kawan dekat saya semuanya perempuan. Pada episode hidup saya di sini, saya tidak bisa bercerita lebih banyak, sekalipun apa yang terjadi selama itu — termasuk kisah tiga orang perempuan luar biasa yang benar-benar khilaf berkenan jadi pacar saya — tentu saja sedikit banyak membentuk cara pandang saya tentang dunia, kesepian dan kematian. Tapi toh zamannya sudah beda. Sekarang ini zaman Internet, zamannya media sosial macam blog, Fesbuk dan Gugel Pleus. Ada yang hendak saya utarakan mungkin dari hubungan pertemanan daring ini.

Kamerad Daring   

Dunia daring dunia berbeda. Di sini, yang ada pertemanan, bukan persahabatan. Menurut saya, persahabatan itu sebuah hubungan yang menuntut, yang mesti dipelihara benar-benar biar langgeng. Karena demanding, persahabatan rentan kandas. Selalu ada harapan. Selalu ada yang disebut komitmen. Di dunia daring, kali tak ada itu yang disebut persahabatan. Yang ada hanya pertemanan, semacam open relationship. Tapi kalo ini open relationship, apa yang mengeratkan kita? Kita? Di sini saya juga bingung, ‘kita’ ini siapa? Lingkaran pertemanan di blogosfer adalah lingkaran yang mirip dengan pelajaran himpunan waktu sekolah dulu. Ada arsiran-arsirannya. Itu apa sih? Kalo ketemu Alex Hidayat, karena beliau ini selebritas dalam pengelakan, saya selalu bertemu dengan satu dua kawan daring beliau yang saya tidak kenal sama sekali. Saya tanya beliau kemarin, apakah pertemanan di jejaring sosial, yang tidak berasal dari dunia luring, bakal bertahan lama? Apa yang menyatukan kita? Menjadikan kita satu komunitas? Kita semua berbeda; beda hobi, beda umur, beda profesi, beda semuanya, tapi entah kenapa di Internet, perbedaan itu irelevan. Kata Alex, itu karena kita semua liberal; satu-satunya asas yang dipegang adalah the Golden Rule bahwa tidak ada yang boleh menyakiti agar tidak disakiti; tidak boleh ada yang menuntut agar tidak dituntut apa-apa. Keterbukaan, kali, asasnya. Atau mungkin juga toleransi. Entahlah. Saya tidak tahu. Tapi saya benar-benar tidak terbayang apabila lima belas atau dua puluh tahun lagi saya masih akan membaca status Difo dan So Hakim tanpa pernah bertemu muka dengan mereka. Kali mereka sudah berkawin dan beranak saat itu. Kali Difo jadi sufi asketik. So Hakim jadi politisi Partai Demokrat. Kali aja, siapa tahu? Yang jelas, di dunia daring, mereka semua seperti abadi, awet muda, seawet muda foto profil dan avatar yang saya lihat di layar monitor. Kali aja, mungkin pertemanan ini bakal lebih awet dari pertemanan luring yang selalu bikin saya merasa melankolik. Atau mungkin sama saja? Entahlah.

Ada komentar dari siapapun Anda yang merasa kenal saya?

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.