Neng Twitter! Quo Vadis?

September 5, 2014 at 10:34 pm | Posted in katarsis | 8 Comments
Tags: , , ,

twitter

Untung saya bukan anak ABG perempuan yang baru kenal Twitter.

Karena kalo saya jadi anak ABG—dengan dosis sinisisme dalam kepala saya saat ini—saya pasti sudah merasa dilecehkan setiap hari, saya akan dibuat frustasi, bingung tujuh keliling: ini kenapa di Twitter sini isinya kok kebanyakan spik-spik buat anak ABG yang enggak banget? Oke, oke. Kalo saya bisa berpikir seperti anak ABG, pasti lah dunia Twitter bisa jadi hiburan. Karena banyak ‘cowok-cowok’ lebih tua yang ‘jago’ spik murahan a la ‘mau kemana neng, kan di sini ada abang’. 😐 Iya, memang tidak begitu persis, tidak semurahan itu, tapi substansinya sama, duabelas-tigabelaslah. Saya tak bisa menalar gejala ini—sumpah. Budaya godain cewe a la Pancaran Sinar Petromak dan Warkop memang menurut saya klasik. Tapi kok rasanya rada nauseating kalo sudah menjadi sembako gurauan di lapak Twitter. Karena udah gak lucu lagi, dan yang tersisa hanya unsur patriarkismenya aja, serentetan pernyataan-pernyataan maskulin yang bernada patronizing dan agak bikin mual.

Baiklah. Saya mungkin terlalu serius menganggapi persoalan yang sebetulnya sangat remeh. Ini bahkan mungkin bukan persoalan sebetulnya. Ini jelas bukan masalah orang banyak lah; ini bukan masalah privatisasi air atau perjuangan untuk keadilan Munir. Itu masalah penting — sepenting banyak tulisan serius di media massa arus utama tentang bagaimana Twitter di Indonesia kini sudah jadi instrumen politik yang sangat ampuh dalam memberdayakan syahwat politik anak muda. Dan lagian, saya ini mikir apa toh, saya ini lelaki berusia 32 tahun yang sudah punya anak dua; kenapa saya harus misuh-misuh dengan sebuah fantasi absurd tentang bagaimana perasaan cewek ABG yang baru kenal Twitter!?

220px-Laura_Basuki

Duh si eneng. Quo vadis?

Ini semua gara-gara nona Laura Basuki, gara-gara karakter Dyah Hanum Farani yang jatuh hati sama pengguna Twitter fiktif dari Yogya, Sukmo. Film ini lumayan menurut saya. Tapi saya gak dibuat jadi paham kenapa si Hanum ini bisa tertarik sama si Sukmo. Saya bisa paham kalo pemeran Sukmo itu ganteng, tapi saya gak bisa paham kenapa cuitan dia bisa menarik di Twitter. Bisa dibilang ini satu-satunya hal yang mengganjal dari film yang ingin bercerita tentang fenomena media sosial itu. Saya pun jadi bertanya-tanya, apakah kita betul-betul bisa menjadi menarik dalam 140 aksara? Di luar negeri mungkin bisa. Tapi di Indonesia bagaimana? Can an Indonesian be interesting on Twitter? Apakah orang Indonesia bisa menjadi witty atau smartly funny di Twitter sehingga mereka layak di-follow jutaan orang?

Kasino lucu, tapi Kasino bukan Woody Allen
—dan selebtwit kita bukan keduanya

Salah satu bukti Twitter Indonesia banyak dihuni anak ABG tanggung (setidaknya dalam sikap dan pemikiran kalo bukan usia) adalah kenyataaan yang tidak terbantahkan bahwasanya pengguna Twitter paling banyak pengikutnya adalah @tweetRamalan, yang adalah sebuah penyedia layanan astrologi, sebuah konsep kebudayaan kuno yang berkembang pesat di abad kegelapan dulu, sebelum ilmu pengetahuan menerangi kehidupan kita. Ramalan Indonesia memang bukan pengguna Twitter paling terkenal. Karena saya juga baru tahu ada mereka. Tapi mereka terbukti paling banyak pengikutnya, bahkan lebih banyak dari Sherina Munaf (juara dua) dan detik.com (juara tiga). Bayangkan, detik.com itu apa kalo bukan rajanya penyedia konten Internet Indonesia? Dan Sherina kurang apa sebagai wakil dari generasi ABG (wait, how old is she now??)? Tapi mereka—Ramalan Indonesia dan Detik.com—itu bukan orang, dan Sherina juga bukan orang yang bisa kita harapkan untuk melucu, untuk menjadi menarik, toh dia sudah jadi selebritas (meski dalam kepala saya, dia tidak pernah pulang dari rumahnya Pak Ardiwilaga). Sekilas, dia adalah bagian dari ABG Twitter. Jadi, secara statistik pengguna Twitter paling menarik se-Indonesia adalah Raditya Dika.

Saya tidak akan membahas Raditya Dika di sini. Nanti saya dibilang sirik. Meskipun, saya bingung juga bagaimana mungkin dia bisa punya jutaan followers dan apapun yang dia tulis bisa diritwit banyak orang, bahkan untuk joke paling lame yang sama sekali tidak bisa saya pahami di mana lucunya. Misalnya cuitan si masnya yang ini:

Itu twit kenapa bisa diritwit sampe 1900 kali? Entahlah. Saya tidak paham betul. Saya hanya bisa menduga kalo ini karena penghuni Twitter kebanyakan anak ABG dan karena itu voila: Raditya Dika. Tapi masalahnya di sini memang bukan Dika-nya. Masalahnya adalah efek dari ketenaran dia, bahwa untuk menjadi menarik di Twitter orang harus bisa bikin pick up lines dan/atau  lelucon self-deprecating yang tidak pernah jauh-jauh dari cinta monyet, mantan dan kehidupan jomblo, seolah ingin terus-menerus menegaskan bahwa mereka itu korban keadaan, korban perempuan, tapi pada saat yang bersamaan juga ingin menegaskan bahwa mereka itu lucu, menarik dan available. Jokes jomblo dan mantan itu buanyak sekali di Twitter. Dan, sekali lagi, saya tidak masalah bila hanya Raditya saja di sini, tapi ini sudah semacam default bagi semua yang ingin melucu dan menarik di Twitter: yakni kasarnya bikin lelucon a la ‘spik-spik anak ABG yang suka nang-neng nang-neng’. Karena saya merasa bahwa gejala ini pun menjangkiti mereka yang dianggap sebagai seleb-twit yang lebih berkelas, yang membuatnya menjadi lebih malesin, meski disampaikan dengan cara lain, yang tidak sepenuhnya sama tapi sama persis. Ibarat kata, banyak dari intelektual kita di Twitter yang pengin melucu pintar a la Woody Allen tapi substansinya, bahan dasarnya masih Kasino-ian, masih berbau Dika. Jadinya gagal total. Sudah pasti lucu kalo joke-nya Kasino dilontarkan dengan gaya Kasino. Tapi kalo joke-nya Kasino tapi disampaikan dengan pretensi, dengan gaya Woody Allen, ya kagak nyambung—bagaimana kita bisa relate dengan lelucon yang substansinya lowbrow tapi disampaikan dengan gaya highbrow?

Kurang ironi, satir dan sarkasme yang berkelas
Ya saya memang layak ditimpuk batu bata

Saya orang yang sangat menghargai ironi, satir dan sarkasme. Karena itu buat saya adalah satu dari sedikit cara untuk mengevaluasi hidup; untuk menelanjangi kebodohannya, kekonyolannya, absurditasnya. Karena ketiganya buat saya adalah satu cara untuk membuat hidup yang kadang menyebalkan, mengecewakan dan menyedihkan ini bisa terasa tertanggungkan. Karena dalam lelucon yang berbau dan bernada satir dan sarkastik kita semua bisa menertawakan diri sendiri. Saya sendiri bukan orang yang pandai bikin satir atau bersikap sarkastik. Dan saya juga paham bahwa sangat mudah sekali bagi siapapun untuk menjadikan saya obyek sarkas, obyek satir. Dan saya tidak akan keberatan. Mungkin saya akan sangat senang. 🙂 Maksud saya adalah setidaknya ada upaya lebih untuk meledek orang melalui satir; dan ini biasanya dilakuken buat mereka yang merasa besar kepala, yang merasa pintar, yang merasa paling elit dan beradab. Ini berbeda dengan buli; karena buli adalah sebetulnya juga sebuah lelucon, yakni lelucon yang didasari oleh perasaan superior [lihat teori humor di sini]. Kita biasa dan kita suka menertawakan kemalangan orang lain. Ini tidak salah. Saya juga suka komedi slapstik (saya masih tertawa kalo melihat orang jatoh ke got). Tapi dalam bentuknya yang lain, kelucuan yang berasal dari kepuasan menertawakan orang lain di Internet itu sering kali mewujud dalam bentuk buli. Di Internet ini sangat wajar. Contohnya sebaran paspor orang dengan nama konyol. Dan sebagian kita sudah melewati ini mungkin, sedikit—dengan membuat jokes spik-spikin anak ABG nang neng nang neng itu. Di Twiter Indonesia saya belum menemukan orang seperti Karl Sharro dari Libanon atau Davic Mithcel dari UK. Obyek sarkasmenya gak berubah: Tifatul lagi Tifatul lagi.

Orang Indonesia banyak yang pintar melucu. Tapi jarang sekali yang bisa melucu pintar. Saya tahu saya akan terdengar sangat elitis, sombong dan memuakkan karena mengatakan hal itu. Saya sudah patah arang berharap bahwa akan ada pelawak tunggal (stand-up comedian) yang bisa selevel sama Seinfeild atau George Carlin atau Edhie Murphy. Dan sekali lagi ini mungkin bukan masalah. Kulturnya mungkin berbeda. Mungkin memang tidak akan pernah ada pelawak model Seinfeld di mari? Dan ini mungkin bukan sesuatu yang perlu disesali. Saya tahu kalo saya kurang gaul. Saya tahu bahwa mungkin di sudut Twitter mana ada pengguna Twitter yang memang menarik dan lucu dan layak di-follow. Bisa jadi akunnya dikunci. Dan dia emang gak mau jadi pusat perhatian orang banyak—bayangkan Dika, delapan juta pengikut? Itu lebih gila dari orasi di GBK! Tapi ini secara umum aja. Seleb-seleb twit itu, yang sudah terkenal dan semi terkenal. Biar sudah saya coba untuk ikuti secara wajar, kok sama sekali kagak worth it untuk diikuti linimasanya. Selain Dika, mas @poconggg juga masih kurang lebih sama nadanya. Saya paham bahwa banyak orang pintar di Internet. Dan saya juga paham bahwa mungkin banyak yang tidak setuju pandangan saya; berpikir bahwasanya saya ini kurang gaul, dan bahwasanya banyak sekali orang pintar dan lucu di ranah Twitter lokal. Saya tentu saja tahu dan mengakui bahwa banyak orang pintar di jagad maya, tapi kok saya merasa hanya sedikit saja dari mereka yang punya selera humor yang cukup untuk menjadikan kepintaran mereka itu menarik. Pak Yusril dan Pak Mahfud, misalnya, mereka berdua pintar, tapi itu tidak membuat mereka menjadi lucu dan menarik sekaligus. Tapi ya, kadang memang menjadi lucu tak harus pintar, kadang memang harus jago nyarkas dan nyatir aja dan ini mungkin bakat alam, tak bisa dipelajari untuk dikuasai.

Kembali lagi ke pertanyaan awal. Apakah orang Indonesia bisa menarik di Twitter? Saya sudah beberapa hari mencari siapa seleb yang katanya layak diikutin dan kayaknya susah untuk menjawab iya atas pertanyaan itu. Saya paham lah kalo Twiter itu banyak gunanya; bisa digunakan sebagai newsfeed yang sangat efektif; juga sebagai sarana bermain dengan teman sebaya dan seide; dengan kawan yang berbagi kamar gema. Ada pula yang suka buat kultwit, yang hingga kini saya bingung apa gunanya; kenapa gak tulis di blog saja atau tulis di mana gitu. Kenapa harus di Twitter? Entahlah. Saya pun tidak tertarik. Saya cuma kebingungan, kenapa orang bisa di-follow banyak orang? Apanya yang membuat mereka menarik? Pintar? Lucu? Yang jelas buat saya Twitter Indonesia bukan tempat untuk mencari begawan-begawan kocak yang bisa membuat Anda menertawakan kepahitan hidup atau segala yang mengecewakan dan menyebalkan dari dunia. Ya saya pun juga sama payahnya. Saya gak tau ngetwit apa di sana. Saya juga mungkin terjangkit Dika-isme dan spik-spikin anak ABG kalo mau buat gurauan. Ya misalnya kalo ketemu Mbak Laura Basuki, saya mungkin akan bertanya, dengan nada sok berkelas dan intelek: “Eh ini Mademoiselle, quo vadis?

8 Comments »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. Dengan analisis seperti itu, apakah sudah bisa disimpulkan kalau mayoritas generasi muda Indonesia itu….ya seperti begitu itu… mungkin hanya mengikuti arus saja karena twitter begitu happening di jaman ini dan following seleb twit sudah menjadi budaya di dalamnya, tanpa tahu sebetulnya tujuan melakukan hal tersebut itu apa :mrgreen:

    Saya pribadi salah satu orang yang tidak terlalu suka twitter sejak pertama kali mengenalnya. Buat saya, terlalu terbatas, gak bisa buat diskusi serius, belum nemu aja asiknya di sebelah mana…ya setidaknya dibandingkan facebook atau gplus. Saya bikin akun twitter (lagi) setelah dua kali deaktif dan ditelantarkan karena gak tertarik, dan keputusan itu juga hanya karena ngikut arus aja. Following beberapa orang doang buat seru-seruan saja, dan kadang hanya untuk nyari link-link buat bacaan baru atau sekedar say hi sesama lingkaran bloger. Atau menyampaikan keluhan ke bank dan komplen ke provider internet 😀

    Btw, setahu saya biasanya para tweep itu mencari cara agar bisa difollow banyak sekali orang. baik seleb-twit ataupun non seleb. Gunanya apa? klo yang non seleb sih bisa buat bisnis, ikut lomba, dan peluang-peluang menghasilkan duit lainnya. Sekarang kan banyak sekali peraturan soal follower dan boost di medsos. Trus, ini entah benar atau tidak, ada orang-orang yg bisa bikin kita jadi punya follower banyak, misal bisa dipesan 1000 follower, entah fiktif atau tidak. Saya pernah lihat iklannya.

    Jadi, fenomenanya ya bakal lebih panjang lagi untuk dibahas *malah melebar kemana-mana ini*

  2. Hahaha sama mbak. Saya juga bingung. Ini sudah empat hari di Twitter, sama masih bingung gimana cara menggunankannya. Kayaknya mislanya ada rame-rame. Tapi saya gak merasa jadi bagian dari keramaian. Mau diskusi juga susah. Akhirnya mau cari akun-akun yang lucu-lucu. Eh susah nyarinya. Hahaha

  3. Exhibit A:

    @selebtwit: Neng, kok pinter pake banget sih? Abang traktir buku mau?

    #mimpi

    —–

    Thanks for this post. Relieved I’m not alone. 🙂

  4. Haha. That’s a good one there. 🙂

  5. Tulisan mencerahkan tentang twitter.
    Kalau penilaian pribadi, apa yg terjadi di twitter karena mental anak muda kita adalah mental membebek.

    Semua orang ingin memiliki followers yg banyak, cara mereka mendapatkanny dengan.mengikuti cara orang yg memiliki followera banyak.

    Itu pemikiran sederhana saya.

  6. Ya misalnya kalo ketemu Mbak Laura Basuki, saya mungkin akan bertanya, dengan nada sok berkelas dan intelek: “Eh ini Mademoiselle, quo vadis?“

    I think she’s married?
     
    *salah fokus*

  7. ^ Iye udah. Hahaha

  8. Kalau tidak salah awalnya Twitter itu kan soal “What I am doing right now”, lalu ada bom hotel itu dan berita pertama datang dari kicauan seorang saksi, jadi berkembang menjadi “What’s happening dan what’s going on”. u_u


Leave a comment

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.