Jamban dan Ideologi

February 18, 2009 at 1:53 pm | Posted in Catatan, filsafat, refleksi | 32 Comments
Tags: , , , ,

Setelah curhat bicara ngalor-ngidul soal Tuhan, agama, kebebasan berkehendak, moralitas, senirupa modern dan makanan India, mari kita bicara soal jamban [Maafkan saya bila ada efek samping yang tidak mengenakkan dari kalimat ini.]. Saya berminat menulis masalah jamban ini setelah memikirkan perkataan Bapak Slavoj Zizek dan Mbah al-Ghazali. Hehe…apa hubungannya yah?

Antara Dua Jamban

Saya kira Anda tahu di dunia ini ada banyak model jamban. Ada jamban model Inggris/Anglosakson [yang fesesnya ngambang di air], model Jerman [yang katanya fesesnya mengalir lewat pipa transparan] dan model Perancis [yang fesesnya menghilang dalam ruang gelap nan hampa]. Dan tentu, ada jamban helikopter karya anak bangsa [yang fesesnya mengalir sampai jauh]. Model apapun sebenarnya tak jadi masalah. Dalam kesadaran banyak orang Indonesia masa kini, apalagi yang tinggal di Jabodetabek, hanya ada dua macam jamban yang mesti mereka pilih: jamban jongkok (squat toilet) dan jamban duduk (flush toilet). Ada yang nyaman dengan keduanya (bi-jamban :D), memang, tapi jumlah mereka sedikit. Sebagian besar memilih untuk memandang tinggi/rendah yang lainnya.

Sistim sanitasi boleh jadi mengindikasikan peradaban sebuah bangsa; kalo toilet bandar udara Sukarno-Hatta jorok alias menjijikkan, orang asing (apalagi yang dari negeri jiran) akan bilang: orang Indonesia jorok! Ah, iya, sebagian orang Indonesia (saya tidak tahu angka pastinya, maaf) mungkin tidak terlalu perduli, karena mereka buang hajatnya sambil jongkok; dan mereka berpikir itu jauh lebih bersih (baca: tidak jorok) ketimbang buang air sambil duduk seperti yang dilakukan oleh banyak orang asing, atau orang Indonesia yang ter-global-kan. Benarkah lebih bersih? Saya tidak tahu. Dan saya tidak hendak berargumentasi mana yang lebih higienis. Itu bukan soal, bung. Yang penting secara psikologis ada banyak orang yang merasa lebih nyaman berak jongkok. Hehe, kawan saya mengungkapkannya dengan sangat lugas:

Saya:lo suka pake jamban duduk apa jongkok?

Kawan saya itu: gw suka yang jongkok

Kawan saya itu: lebih bebas

Kawan saya itu: lebih puas

Kawan saya itu: dan menurut gw lebih bersih

Kawan saya itu: karena pantat loe ga berhubungan langsung sama jamban

Ada logika memang dalam argumentasi di atas. Logika yang cacat mungkin, tetapi masih layaklah dipandang sebagai sebuah argumentasi. Mari kita parafrase ungkapan kawan saya itu: Karena “pantat loe ga berhubungan langsung sama jamban”, maka buang hajat jongkok lebih “bersih” dari buang hajat duduk yang sejatinya bersentuhan dengan jamban yang sudah didudukin ribuan orang! Kalau begitu, Anda bertanya, mengapa peradaban global sebagaimana ditampakkan di bandar udara dan hotel mewah lebih menerima gaya buang hajat sambil duduk? Ada konflik nilai di sini. Orang yang gemar buang hajat sambil duduk di jamban putih nan harum nan mewah berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu lebih bersih dan tidak jorok. Yang jongkok malah dianggap lebih vulgar dan menjijikkan, apalagi bila tangan kiri Anda harus benar-benar terlibat dalam operasi membersihkan liang yang sengaja disembunyikan oleh Tuhan Yang Maha Pengertian itu. So, jadi mengapa ini berbeda? Mana yang lebih bersih, mana yang lebih jorok?

Jamban dan Ideologi

Menurut bapak Slavoj Zizek (disclaimer: ini sejauh yang saya tangkap dari khotbah beliau, termasuk soal toilet, di Youtube), ideologi adalah the unknown knowns; sesuatu yang kita tidak tahu bahwa kita tahu. Zizek berbeda dengan Ghazali, yang berpikir bahwa orang yang paling celaka adalah rajulun laa yadrii annahu laa yadrii atau sesorang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Di sini, dalam falsafah Ghazali, masalahnya adalah the unknown unknowns. Zizek berpikir lain, the unknown unknowns bisa saja datang sebagai bahaya yang datang sekonyong-konyong seperti serangan teroris dan krisis ekonomi, tetapi setidaknya the unknown unknowns tidak mempengaruhi/mendikte bagaimana manusia mengambil pilihan atau bertindak.

Jamban Orang Romawi (Wikipedia)

Jamban Orang Romawi (Wikipedia). Ternyata sebagian orang Eropa sekarang pun masih pakai toilet jongkok. πŸ˜€

Ada banyak hal di dunia ini yang kita ketahui bahwa kita tidak tahu (the known unknowns), misalnya Tuhan atau alien atau hasil pemilu 2009 atau soal ebtanas (atau UAN) matematika yang menyebalkan. Itu semua bukan masalah, karena “kita tahu bahwa kita tidak tahu” dan setiap tindakan sosial/psikologis kita didasari oleh “ketidaktahuan yang diketahui” itu. Kita bisa saja, misalnya. memutuskan untuk “tidak tahu” dan mengabaikan soal Tuhan dan soal matematika, bukan? Ideologi tidak berkerja di wilayah itu. Ideologi bekerja seperti hantu. Nah, menurut saya, the unknown knowns itulah hantunya: ada the unknown knowns atau something that we know unwittingly, yang mendorong kita untuk menganggap jamban jongkok itu “lebih bersih” dari jamban duduk. Kita tidak pernah merefleksikan buang hajat, bukan? Kita melakukan apa yang sudah diinstal dalam kesadaran kita “bahwa begitulah seharusnya buang air besar. Jongkok!”. Tidak perlu kita berpikir panjang. Pokoknya tinggal eksekusi!

Tentu saja Anda bisa berargumen bahwa apabila kita melakukan refleksi atau analisa teknis (terutama oleh tukang insinyur) terhadap berbagai model jamban yang ada, maka kita akan menemukan berbagai perjelasan yang sepertinya logis bin utilitarian, dan tampak seperti tidak terkait sama sekali dengan ideologi atau the unknown knowns. Tetapi kenyataannya belum tentu begitu. Kita tidak pernah tahu, bahwa bisa jadi faktor ideologis (berbagai sistim nilai dan moda berfikir) yang sebenarnya menjadi “pondasi” dari alasan logis/utilitarian yang diutarakan namun luput dari “penjabaran” mengapa kita lebih menyukai jamban jongkok ketimbang jamban duduk. Nah, ini baru soal jamban. Bagaimana dengan soal lain? Soal moral, soal Tuhan, soal politik, soal cinta, soal seks, soal kebudayaan, soal seni, soal ekonomi, soal keamanan, soal kekerasan, dan lain-lain? Bagaimana? Apakah kita yakin betul bahwa pilihan rasional dan moral kita itu benar-benar bersih dari ideologi, bersih dari asumsi yang belum diverifikasi? Apakah mereka yang percaya homoseksualitas itu harus dibebaskan dari tirani nilai KWI dan MUI juga percaya bahwa hubungan sedarah juga perlu dilegalkan? Apakah betul, setelah Soviet bubar, ideologi berakhir dan yang kita punya kini hanyalah kapitalisme dan demokrasi sebagai kepastian sejarah?

Coba pikirkan kembali apa yang Anda pikirkan dan lakukan. Coba lihat kembali bagaimana Anda hidup. Apakah anda yakin bahwa Anda mengetahui semua yang Anda ketahui tentang dunia? Apakah Anda benar-benar memikirkan apa yang Anda pikirkan? Orang boleh mengaku percaya sama kitab suci, al-Qur’an dan Alkitab, tetapi belum tentu taat beribadah dan jauh dari dosa. Orang boleh saja mengaku ateis, agnostik dan sinis sama semua agama mapan, tetapi dia mungkin masih berdoa dalam kesunyian dan menyimpan jimat (toh tidak ada ruginya, karena percaya atau tidak percaya, tayahul tidak pandang bulu memberi manfaat). Orang boleh saja hapal segala macam bentuk logika cacat, tetapi itu bukan jaminan bahwa dia bisa berpikir dengan benar. Kehidupan itu tidak sempurna, tidak seperti yang kita pikir kita tahu. Kita bikin aturan untuk dilanggar. Kita bikin janji untuk diingkari. Kita tidak pernah tahu bahwa ada jejaring ideologi yang menentukan setiap pilihan hidup kita. Ah, ya, ini memang semacam determinisme; bagaimana bila saya mengetahui sesuatu tetapi saya tidak tahu bahwa saya mengetahuinya? Bagaimana bila “sesuatu” itu diam-diam saya jadikan landasan untuk bertindak dan berpikir? Bagaimana bila diam-diam saya ini rasis? Bagaimana bila diam-diam saya ini ateis dan anti-agama? Bagaimana bila diam-diam saya ini anti-Amerika dan Israel? Bagaimana bila diam-diam saya ini pro-Taliban? Dari soal jamban sampai politik, saya kira kita perlu tahu, akan selalu ada hantu the unknown knowns yang akan membiaskan jalan pikiran Anda!

NB: Mohon koreksi dan komentar. Saya bukan ahli filsafat, apalagi ahli jamban!

32 Comments »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. Hehehe keceklis kolom komentarnya. πŸ˜€

  2. Ada yang kurang nih Oom Gentole. Koq cebokan nggak dibahas sih?
    Cebok pake kertas atau air plus sabun yang lebih vulgar dan menjijikan?
    πŸ˜€ πŸ˜€

  3. @ando-kun
    .
    Hehe…Tadinya saya juga mjau ngebahas rasa bahasa macam: buang hajat, buang air besar, berak, boker dan poop. Tapi itu terlalu luas, kan saya mau ngebahas ideologi sebenarnya. Yah meskipun tertatih-tatih. Masih agak sulit sih membaca Zizek. Maklum sekedar hobi, bukan praktisi filsafat beneran. πŸ˜€

  4. saya tahu bahwa anda tahu bahwa saya tidak tahu apa yang anda tahu

  5. @frost
    .
    Lah, cuma segitu doang komentarnya?
    .
    :mrgreen:

  6. nimbrung ah… kebanyakan yg kita tahu kan emang pengetahuan “katanya”. karena ada selera itu kayaknya *ngawur gak papa* :mrgreen:

  7. Yang pasti perkara jamban ini agak mengganggu kalau teringat tatkala membaca karya yang berhubungan dengan masa silam yang jauh. Para ksatria berpedang dan prajurit wanita di fiksi itu memukau, tapi kalau perkara ini disinggung saya jadi masygul.
    .
    *lah jadi beneran ngomongin jamban*
    .
    Saya suka yang flush, soale bisa dibawa mbaca!

  8. Kok Mas Gentole ga masukin para sinkretis yang suka jongkok di jamban duduk kaya saya?

  9. saya belum lihat video Zizek saat kirim komentar ini, jadi ada kemungkinan akan saya kasih tambahan kalo sudah ada waktu nengok Youtube.
    .
    Terminologi the unknowns knowns saya rasa kurang pas, karena we do not know what we do not know (Hofmann, Holm and Iversen, 2007). IMHO lebih cocok dibilang sebagai ketidaksadaran akan suatu hal, unconsciousness (taman bermain psikoanalisa) atau menurut saya pribadi lebih pas dikatakan unawareness (Pali: sama sati). Istilah unconscious ga sreg buat saya karena di otak saya nempelnya consciousness ada levelnya pake Glasgow Coma Score/ Scale. :mrgreen:
    .
    Gampangnya bilang “tidak tahu”, padahal itu karena tidak sadar. Ada kata-kata bijak di sebuah papan yang digantung di pohon di pelosok Thailand, “I know everything, but I don’t know my mind.” Menurut saya ini yang paling pas, misal orang berpikir bahwa pikiran dan/ atau tindakan dia rasional, netral, obyektif dll. Padahal dia tidak sadar bahwa banyak hal ikut berperan dalam proses dia berpikir/ bertindak/ mengambil keputusan. Di antaranya soal value/ ideologi, situasi/ kondisi, dan ego.

  10. Teringat cerita soal ksatria berbaju zirah di Inggris. Punya seorang pembantu yang bertugas untuk membersihkan baju zirahnya dari kotoran-kotoran yang ada selama berperang atau duel.

    kotoran apa? ya kencing, dan feses. Jadi mereka tidak menggunakan jamban duduk maupun jongkok, melainkan jamban berdiri. 😯

    @lambrtz
    Yang saya pelajari di kantor adalah para sinkretis ini menghadapi resiko yang tidak perlu karena tidak menuruti prosedur SHE (Safe and Healthy environment)

  11. Teringat cerita soal ksatria berbaju zirah di Inggris. Punya seorang pembantu yang bertugas untuk membersihkan baju zirahnya dari kotoran-kotoran yang ada selama berperang atau duel.

    Nah, ini dia.

  12. @sitijenang
    .
    Pengetahuan “katanya” inilah yang kita jadikan ukuran/standar dalam menentukan tindakan kita. Pengetahuan “katanya” inilah, yang tidak teruji secara logis dan empiris, yang menjadi ideologi kita?
    .
    @abu geddoe
    .

    Saya suka yang flush, soale bisa dibawa mbaca!

    .
    Emang kalo sambil jongkok enggak bisa?
    .
    *membayangkan*
    .
    @lambrtz
    .
    Haha…bahaya itu. Gak baca peringatan apa” do not squat! Anyway, saya juga kadang sinkretis, tergantung jambannya keliatannya kuat apa enggak. Kan gak lucu kalo pecah. πŸ˜€ Eh, tapi kalo jongkok di jamban duduk bukannya artinya dia itu penganut jamban jongkok juga? πŸ˜•
    .
    @illuminationist
    .

    Terminologi the unknowns knowns saya rasa kurang pas, karena we do not know what we do not know (Hofmann, Holm and Iversen, 2007). IMHO lebih cocok dibilang sebagai ketidaksadaran akan suatu hal, unconsciousness (taman bermain psikoanalisa) atau menurut saya pribadi lebih pas dikatakan unawareness (Pali: sama sati).

    Kurang pas bagaimana? Iya saya kira memang ada kaitannya dengan psikoanalisa. Tapi yah saya enggak mau ngaitin aja. πŸ˜€ Zizek mengungkapkan ini berkali-kali. Pertama saya baca artikel dia soal lebah dan senjata pemusnah masal. Istilah the unknown knowns itu dia ambil dari penjelasan Rumsfled tentang the unknown unknowns (senjata pemusnah masal yang paling mengerikan) yang dijadikan justifikasi untuk menyerang Iraq.
    .

    Menurut saya ini yang paling pas, misal orang berpikir bahwa pikiran dan/ atau tindakan dia rasional, netral, obyektif dll. Padahal dia tidak sadar bahwa banyak hal ikut berperan dalam proses dia berpikir/ bertindak/ mengambil keputusan. Di antaranya soal value/ ideologi, situasi/ kondisi, dan ego.

    .
    Iya itu maksud saya, saintis pun diam-diam bisa merasakan semacam efifani. Tapi kurang pasnya di mana yah?
    .
    @dnial
    .
    Jamban berdiri? Nyaman begitu? Kenapa gak pake popok aja sekalian. Ih, jorok! Ksatria Majapahit jauh lebih beradab kalo begitu. πŸ˜€

  13. Jamban berdiri? Nyaman begitu? Kenapa gak pake popok aja sekalian. Ih, jorok! Ksatria Majapahit jauh lebih beradab kalo begitu. πŸ˜€

    .
    Belum pernah nyoba… πŸ˜›
    .
    Tapi sepertinya, kalau harus mecopot baju zirah setiap kali kebelet, takut nggak kuat nahan. Trus gimana kalau diserang di tengah2? Wekekekekeke…
    .
    Satria majapahit kan lebih simple bajunya, dan di Jawa saat itu masih banyak hutan dan semak2… πŸ˜›

  14. Cuma mau komplen!
    .
    Semalam dikasi tau Si Satria Wajan Hitam kalo ada postingan ini, eh… komennya ketutup. Padahal mau dipingback…
    .
    Bisa samaan bahas ideologi. Internet memang sempit πŸ™„
    *dejavu sama komen lamanya Gen perihal Marcos EZLN* :mrgreen:

  15. @abuya alex
    .
    Maap. Keceklis. Entah gimana bisa begitu.
    .
    Nulis ideologi juga kah?

  16. @ gentole
    logis dan empiris itu kan juga ada pencetusnya, berawal dari katanya, lalu hinggap di kepala orang lain. lalu orang merasa tahu, paham/setuju, kemudian menjalani. lha yg jadi ukuran sebenarnya saya kira hasil, kalau enak ya dilanjutkan, kalau tidak enak biasanya diabaikan.

  17. Semalam dikasi tau Si Satria Wajan Hitam kalo ada postingan ini…

    pantes, seharian tadi kuping kok rasanya panas ~_~a

    .

    @ gentole
    ada apa dengan ideologi? πŸ˜›

  18. Postingan ini relevan dengan situasi geopolitis dan geostrategis dalam hubungan Indonesia dan AS saat ini. Dimana Madam Secretary of State mengakhiri kunjungan di Jakarta dengan meninjau MCK + yang dilengkapi dengan pengolah biomassa. Mungkin Madam Secretary perlu meyakinkan bahwa tiada perlu bersyak-wasangka bahwa Nusantara akan mengembangkan The Unknown Unknown dari bantuan USAID ini πŸ™‚

    NB. Thanks sudah mampir ke blog saya yang sederhana.

  19. @sj
    .
    Iya kalo enak yah diterusin aja. πŸ˜€
    .
    @esensi
    .
    Iya tuh ideologi anak mana sih?
    .
    @oddworld
    .

    Mungkin Madam Secretary perlu meyakinkan bahwa tiada perlu bersyak-wasangka bahwa Nusantara akan mengembangkan The Unknown Unknown dari bantuan USAID ini

    Hahahaha…iya enggak perlu begitulah. Tapi emang gak tau juga nih Madam Secretary ini bakal gimana. Ada komentar di JP yang bagus di sini.

  20. Entah gimana bisa begitu

  21. mas gentole…sory saya belum bisa komentar apa2 tentang tulisan sampean…terlalu berat kayaknya kalau harus dikomentari (gak kebayang aja kalau harus ngomentari jamban (sebuah maqom yang setiap pagi siang juga petang kita dudukin, hehehehe)…this is just introduce-lah dari saya radea….. salam kenal,

  22. @radea
    .
    Salam kenal juga, Mas.

  23. IMHO kurang pas karena sebenernya pengetahuan (knowledge) itu ada dalam diri kita, cuma saja kita tidak sadar akan keberadaannya. Bisa dibawa ke dalam kesadaran misalnya dengan cara refleksi. Tapi jika kita observasi, yang banyak terjadi adalah versi cerita yang jadi pusat dunia ya aku ini, alias “This story about me”. Di sana tidak ada tempat untuk refleksi, tidak ada tempat untuk menyadari hal-hal yang sebenarnya kita tahu. Selalu ditimbun dengan yang artifisial, selalu mengalihkan perhatian ke obyek di luar, tidak ada tempat untuk introspeksi. Otomatis klaim yang keluar adalah “aku tidak tahu”. Padahal sebenarnya “aku tidak (mau) refleksi.”

  24. @atas
    .
    Kayaknya gak ada yang berbeda. The unknown knowns itu pengetahuan yang tak terefleksikan, bukan? Yah, refleksi memang penting.
    .
    Anyway, makasih buat komentar insightful-nya.

  25. @ atas
    .
    Sekarang pake kacamata lain :-). Kalau pake pendekatan favoritmu, empiris positivistik, katanya: There is literally no empirical way to “know” anything except through its relations to other things.
    .
    Pernyataan ini cocok dengan prinsip “This story about me”. Jika tidak pernah coba refleksi apalagi empati dengan orang lain (relate/compare/understand others’ point of view), maka soal ketidaktahuan (ignorance) jadi niscaya.

  26. sumber kutipan: Kerlinger, Fred N. Foundations of Behavioral Research (3rd ed).

  27. @illuminationist
    .
    Sepakat, bung. πŸ˜€

  28. Kenapa orang barat nggak pake jamban jongkok? Karena mereka sebenernya nggak bisa jongkok! Tulang tungkai mereka nggak panjang seperti orang asia dan afrika. Aneh ya..

  29. ^
    Oh, benarkah? Bisa jadi tuh. Lebih masuk akal kayaknya. πŸ˜€

  30. […] yang menyebut dirinya Gentole, perkara toilet ini pernah dibahas di postingan berjudul “Jamban dan Ideologi“. Rupa-rupanya, urusan toilet (atau disebut juga kakus, jamban, dan WC) ini memang bukan […]

  31. […] yang menyebut dirinya Gentole, perkara toilet ini pernah dibahas di postingan berjudul “Jamban dan Ideologi“. Rupa-rupanya, urusan toilet (atau disebut juga kakus, jamban, dan WC) ini memang bukan […]

  32. […] yang menyebut dirinya Gentole, perkara toilet ini pernah dibahas di postingan berjudul “Jamban dan Ideologi“. Rupa-rupanya, urusan toilet (atau disebut juga kakus, jamban, dan WC) ini memang bukan […]


Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.